Sikap hormat menghormati jika diterapkan dengan sempurna akan melahirkan sebuah jalinan yang lebih erat yaitu: sikap saling mengasihi dan mencintai karena Allah taala (الحب في الله). Sikap mulia ini merupakan tanda kesempurnaan iman seseorang muslim sebagaimana sabda Nabi Saw, “Tidak (sempurna) iman seorang dari kalian sebelum ia mencintai saudaranya seperti ia mencintai dirinya sendiri.” Beliau juga menegaskan bahwa orang yang menerapkan akhlak ini akan memperoleh sesuatu yang sangat lazat, iaitu manisnya iman di dalam hati. Beliau bersabda:
ثلاث من كن فيه وجد حلاوة الإيمان: أن يكون الله ورسوله أحب إليه مما سواهما، أن يحب المرء لا يحبه إلا لله، وأن يكره أن يعود في الكفر بعد أن أنقذه الله منه كما يكره أن يقذف في النار.
“Tiga sifat, barangsiapa yang memilikinya ia akan merasakan manisnya iman: (pertama) ia mencintai Allah dan Rasul-Nya melebihi yang lain. (Kedua) ia mencintai temannya hanya karena Allah. Dan (ketiga) ia membenci kembali kepada kekafiran setelah Allah selamatkan darinya sebagaimana ia membenci dimasukkan ke dalam api.”
Cinta kasih kepada sesama manusia merupakan syarat utama yang harus dipenuhi oleh setiap orang yang ingin memasuki syurga Allah SWT. Rasulullah SAW bersabda:
والذي نفسي بيده لا تدخلوا الجنة حتى تؤمنوا، ولا تؤمنوا حتى تحابوا، أولا أدلكم على شيء إذا فعلتموه تحاببتم؟ أفشوا السلام بينكم.
“Demi Allah yang jiwaku berada di tangan-Nya, kalian tidak akan masuk syurga hingga kalian beriman. Dan kalian tidak akan beriman hingga kalian saling mencintai. Mahukah aku beritahu sesuatu yang jika kalian lakukan kalian akan saling mencintai? Sebarkanlah salam di antara kalian.”
Dan sama seperti syukur, sifat mengasihi sesama juga melahirkan kebahagiaan dalam hati setiap orang yang memilikinya. Syeikh Abdurahman Habannakah berkata, “Cinta melahirkan ketenangan, kepuasan dan kerelaan di dalam jiwa. Sedangkan benci selalu melahirkan kekhuwatiran, kegoncangan, egoisme dan keluhan dalam hati. Orang-orang yang mencintai kebaikan untuk sesama akan hidup dalam kebahagiaan hati selama-lamanya, jiwanya tenang dan penuh kepuasan. Adapun orang-orang yang hanya mencintai dirinya sendiri, mereka jauh dari ketenangan jiwa dan kepuasan hati ini. Kesempitan hati mereka tidak cukup luas untuk sifat-sifat itu.”
Bahkan syurga menjadi tempat yang sangat indah untuk ditempati sebab Allah menjadikan tempat ini penuh dengan cinta kasih setelah mencabut sifat-sifat kebencian dan dendam dari semua penghuninya. Maka barangsiapa yang mampu mewujudkan sifat ini di dalam hatinya, lalu mengajarkannya kepada orang lain, ia seolah-olah telah memasuki syurga padahal nyawanya belum berpisah dari jasadnya.
Cara melahirkan kasih di dalam hati
Manusia diciptakan oleh Allah SWT sebagai makhluk sosial, artinya fitrahnya menuntut dirinya untuk hidup bersama dengan orang lain dan berbagi perasaan dengan mereka. Manusia yang fitrahnya masih suci dan murni tidak akan menemui kesulitan dalam mencintai orang lain bahkan ia merasakan kenikmatan untuk melakukan hal itu. Sebaliknya, orang yang tidak mampu mencintai orang lain, bahkan mendapati kenikmatan dalam membenci, maka hal itu menunjukkan jiwanya sedang sakit dan fitrahnya telah terkotori. Orang seperti ini memerlukan rawatan serius dan bantuan yang tidak sedikit agar dapat mengembalikan kemurnian hatinya semula. Ubat akhlak tercela ini dapat diperoleh dengan memaksa diri melakukan akhlak terpuji yang menjadi lawannya. Jadi, ubat untuk orang seperti ini dapat dimulai dengan cara memaksa hatinya mencintai seseorang karena Allah. Memikirkan besarnya pahala dan fadhilat yang Allah janjikan bagi orang-orang yang saling mencintai karena Allah dapat juga membantu mempercepat kesembuhan hatinya. Pikirkan misalnya janji Rasulullah SAW, “Pada hari kiamat nanti Allah SWT berfirman: Manakah orang-orang yang saling mencintai karena-Ku? Pada hari ini Aku akan melindunginya (dari kepanasan dan ketakutan) ketika tidak ada perlindungan selain perlindungan-Ku.” Juga sabda Nabi Saw, “Barangsiapa yang tidak mengasihi manusia tidak akan dikasihi Allah.” Mengimani sabda-sabda Nabi SAW yang diriwayatkan dengan sanad-sanad yang sahih ini sepatutnya cukup untuk merubah pandangan negatifnya terhadap orang lain dan memulai untuk membuka hatinya mencintai mereka.
Langkah berikutnya adalah melakukan perbuatan-perbuatan yang dapat menumbuhkan benih-benih cinta di hati seperti: menebarkan salam sebagaimana yang disabdakan Nabi SAW di atas. Saling memberi hadiah juga dapat menumbuhkan rasa cinta sebagaimana sabda Nabi Saw:
تهادوا تحابوا
“Saling memberi hadiahlah kalian, niscaya kalian akan saling mencintai.”
Berikutnya: menyatakan cintanya kepada orang yang dicintai sebab perbuatan ini akan melahirkan sikap saling mencintai. Sabda Nabi Saw:
إذا أحب الرجل أخاه فليخبره أنه يحبه
“Jika seseorang mencintai saudaranya, hendaklah ia memberitahu dia bahawa ia mencintainya.”
Cara menumbuhkan kecintaan yang lain adalah dengan memuji sifat-sifat kebaikan yang terdapat pada diri seseorang dengan jujur tanpa berdusta sebab pujian ini merupakan salah satu cara yang paling cepat menarik cinta orang tersebut. Pujilah anaknya, pekerjaannya, akhlaknya, tulisannya dan hal-hal lain yang dapat menggembirakan hatinya. Dan ucapkanlah terima kasih jika ia memberikan sebuah bantuan. Semua ini akan melahirkan rasa cinta di hatinya.
Tanda-tanda kasih
Mencintai sesama makhluk merupakan dasar utama yang melandasi banyak sekali akhlak-akhlak mulia seperti membantu, bekerjasama, simpati dan murah hati. Oleh karena itu, jika seseorang memiliki rasa kasih dan cinta sejati di dalam hati, ia akan merasakan tanda-tandanya, antara lain seperti:
Pertama: Menyukai kebaikan untuk orang yang dikasihinya dan membenci kesengsaraan untuknya. Seorang ibu yang mencintai anaknya akan berbahagia melihat anaknya sIhat, kuat, hidup berbahagia, dan kebaikan-kebaikan lainnya. Dan kita tidak akan menemukan seorang ibu berbahagia melihat anaknya mendapat kesulitan dan kesengsaraan. Sekiranya ada, ibu tersebut perlukan rawatan hati melalui Al-Quran dan Al-Hadith, zikrullah, Qiamullail dan seumpamanya. Berbalik kepada ibu yang cintakan anaknya, ia akan berusaha sekuat tenaga membantu anaknya keluar dari kesengsaraan itu, bahkan sejak awal telah menasihatinya sebelum kesulitan itu menimpanya. Termasuk adab-adab yang dilahirkan oleh akhlak ini: jika seseorang mendengar berita yang dapat menyakiti perasaan sahabatnya, seperti umpatan dan celaan dari orang lain, maka ia harus menyembunyikan berita itu darinya. Sebaliknya, jika ia mendengar berita yang dapat membahagiakan sahabatnya, seperti pujian dari orang lain, ia harus menyampaikan berita itu kepadanya. Ulama juga menganjurkan: jika seseorang berjumpa sahabatnya di tengah jalan maka janganlah bertanya tempat tujuannya dan apa yang akan ia lakukan di tempat itu. Sebab mungkin ia merasa malu untuk menjawab pertanyaan ini lalu terpaksa berbohong.
Akhlak ini jelas sekali dimiliki Rasulullah SAW ketika Al-Qur’an menceritakan sifat beliau yang sangat sayang dan cinta kepada umatnya:
“Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin.”
Karena cintanya itu Rasulullah SAW berjuang sekuat tenaga untuk menyelamatkan umatnya dari api neraka dengan berdakwah dan memberikan nasihat meskipun disakiti dan dizalimi. Dalam sebuah hadith, Baginda bersabda:
مثلي كمثل رجل استوقد ناراً فلما أضاءت ما حوله جعل هذه الفراش والجنادب وقعن فيه فأنا آخذ بحجزكم عن النار وأنتم تفلتون من يدي
“Perumpamaanku ibarat seorang laki-laki yang menyalakan api. Setelah api itu menerangi sekitarnya, binatang-binatang kecil dan anai-anai berjatuhan ke dalam api. Aku berusaha menarik baju kalian agar tidak jatuh ke dalam api, namun kalian berusaha melepaskan diri dari tanganku.”
Kedua: menutupi aib dan keburukan yang ada pada diri orang yang menjadi kekasihnya. Rasulullah Saw bersabda:
من ستر مسلماً ستره الله في الدنيا والآخرة
“Barangsiapa yang menutupi (keburukan) seorang muslim, Allah akan menutupi (keburukannya) di dunia dan akhirat.”
Nabi Isa ‘alahissalam(a.s.) pernah bertanya kepada para sahabatnya, “Apa yang kalian lakukan jika melihat saudaranya sedang tidur lalu pakaiannya tertiup angin sehingga tersingkap auratnya?” Mereka menjawab, “Kami menutupi auratnya itu.” Nabi Isa a.s. berkata, “Namun sering kali kalian membuka auratnya.” Mereka berkata, “Subhanallah, siapakah yang melakukan perbuatan buruk itu?” Nabi Isa a.s, berkata, “Kalian mendengar suatu keburukan tentang saudara kalian, lalu kalian menyebarkannya kepada semua orang.”
Jika orang itu menitipkan rahsia kepadanya, ia harus menjaga rahsia tersebut dengan sekuat tenaganya. Al-Ghazali berkata, “Membocorkan rahsia hukumnya haram jika menyebabkan bahaya untuk orang lain. Dan sangat tercela jika tidak membahayakan.” Termasuk rahsia yang tidak boleh disebarluaskan adalah ucapan atau cerita yang disampaikan oleh seseorang kepada kita. Rasulullah Saw bersabda:
إذا حدث الرجل بحديث ثم التفت فهو أمانة
“Jika seseorang menceritakan sesuatu kepada orang lain, lalu ia berpaling (berpisah) maka ucapan itu adalah sebuah amanah.”
Akhlak ini diterapkan oleh Abu Bakar Al-Siddiq radhiallahuanhu(r.a.) ketika ia mendengar Rasulullah SAW berniat meminang Hafsah binti Umar, sehingga ketika Umar menawarkan untuk menikahi putrinya ini, Abu Bakar r.a. tidak menjawab tawarannya dengan satu katapun. Setelah Rasulullah SAW menikahi Hafsah, Abu Bakar r.a. berkata kepada Umar, “Mungkin kamu marah ketika menawarkan Hafsah kepadaku namun aku diam dan tidak menjawab apa-apa?” Umar berkata, “Ya.” Abu Bakar r.a. berkata, “Aku melakukan itu sebab aku mendengar Rasulullah SAW berniat meminangnya. Dan aku tidak mungkin menceritakan rahsia beliau kepada orang lain. Andai Nabi SAW tidak menikahinya, aku akan menerima tawaranmu.”
Ketiga: mudah memaafkan kesalahan orang yang dikasihinya. Kesalahan yang dilakukan seseorang terbahagi kepada dua. Pertama: kesalahan kepada Allah dengan melanggar perintah agama seperti meminum arak, meninggalkan solat, dan lain-lain. Para ulama menganjurkan agar kita tidak segera memutuskan hubungan persahabatan dengan orang yang melakukan kesalahan itu, akan tetapi kita harus bersabar dan berusaha mengembalikan dirinya ke jalan yang benar. Ibrahim Al-Nakhai berkata, “Janganlah kamu menjauhi saudaramu kerana dosa yang ia lakukan. Sebab ia melakukannya hari ini, mungkin akan meninggalkannya esok hari.”Jika kita menjauhinya kerana dosa yang dilakukan bererti kita telah melakukan kehendak syaitan sehingga ia boleh menjerumuskan orang itu kepada dosa-dosa lain yang lebih besar.
Oleh kerana itu, Rasulullah SAW melarang para sahabat memaki dan menghina seseorang yang telah berbuat maksiat. Abu Hurairah r.a. bercerita: suatu hari seseorang yang telah terbukti meminum arak dibawa ke hadapan Nabi SAW. Beliau lalu bersabda, “Pukullah ia.” Abu Hurairah r.a. berkata: lalu kami memukulnya dengan tangan, ada pula yang memukulnya dengan sandalnya, dan ada juga yang memukulnya dengan bajunya. Ketika selesai, seseorang berkata kepada peminum arak ini, “Semoga Allah menghinakan kamu.” Mendengar ucapan ini, Rasulullah SAW bersabda, “Janganlah kamu berkata seperti itu. Jangan bantu syaitan untuk (menyesatkan) saudaramu.”
Kedua: kesalahan yang ia lakukan kepada diri kita sehingga memancing kemarahan kita. Ulama sepakat bahawa memaafkan dan bersabar atas perbuatan ini sangat dianjurkan. Bahkan jika cinta seseorang begitu kuat di dalam hati, ia tidak mampu melihat keburukan kekasihnya itu. Sebaliknya, semua perbuatan yang dilakukan kekasihnya begitu indah meskipun zahirnya terlihat menyakiti dirinya. Seperti pasangan yang sangat mencintai bayinya, mereka tidak akan marah –bahkan tertawa bahagia- ketika si manja memukul mukanya, menarik rambutnya bahkan mengencingi baju mereka.
Pada suatu perjalanan, Ibrahim bin Adham berjumpa dengan seorang laki-laki yang meminta ikut bersamanya. Ibrahim mengizinkan lalu mereka menjadi sahabat dalam perjalanan selama beberapa hari. Ketika hendak berpisah, laki-laki itu bertanya, “Sifat buruk apa yang ada di dalam diriku?” Ibrahim menjawab, “Tanyalah kepada orang lain. Sebab saya tak mampu melihat keburukanmu.”
Keempat: berkorban apa saja untuk orang yang dicintai. Cinta membuat jiwa, raga dan harta menjadi begitu murah di mata seseorang sehingga ia dengan ringan melepaskan semua ini ketika diperlukan. Kerana cintanya kepada Alah dan Rasul-Nya, Abu Bakar Al-Siddiq r.a. pernah menyumbangkan semua hartanya di jalan Allah. Ketika Rasulullah SAW bertanya, apa yang kamu tinggalkan untuk keluargamu, “Abu Bakar r.a. menjawab dengan penuh iman, “Aku tinggalkan mereka Allah dan Rasul-Nya.” Begitu juga Thalhah bin Ubaidillah r.a. yang melindungi tubuh Nabi SAW dengan tubuhnya ketika kaum musyrikin melempari Rasulullah SAW dengan batu. Akibatnya tangan Thalhah bin ‘Ubaidillah lumpuh dan tidak boleh digunakan lagi hingga akhir hayatnya.