Tuesday, June 14, 2011

SIFAT SYUKUR

Syukur merupakan salah satu akhlak Islami yang terpenting. Oleh karena itu, banyak sekali ayat-ayat dan hadith-hadith yang menganjurkan agar setiap muslim menghiasi dirinya dengan akhlak ini. Allah Swt berfirman:

فاذكروني أذكركم واشكروا لي ولا تكفرون

“Maka ingatlah Aku, Aku akan mengingatimu. Dan bersyukurlah kepadaku jangan kamu menjadi kafir.” (Qs. Al-Baqarah: 152).
Allah juga menjanjikan akan menambah nikmat yang telah diberikan kepada seseorang hamba jika ia mensyukuri nikmat yang telah diterimanya. Dan sebaliknya, Allah mengancam akan menyiksa dengan azab yang sangat pedih jika hamba itu tidak mensyukuri nikmat tersebut. Allah berfirman:

وإذ تأذن ربكم لئن شكرتم لأزيدنكم ولئن كفرتم إن عذابي لشديد

“Dan ingatlah ketika tuhanmu berkata: kamu bersyukur Aku akan menambahkan lagi (nikmat-Ku), namun jika kamu memungkirinya (kafir), sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.” (Qs. Ibrahim: 7).

Hakikat Syukur
Secara bahasa, syukur bermakna “terima kasih”. Dan kita boleh mendefinisikan syukur secara istilah dengan “mengakui nikmat yang telah diberikan kepada kita lalu menggunakan nikmat itu sesuai dengan fungsinya”. Imam Al-Ghazali menjelaskan bahwa hakikat syukur terdiri dari tiga bahagian: ilmu, hal (perasaan hati) dan amal perbuatan. Ia berkata, “Ilmu adalah tunjangnya. Ia lalu melahirkan hal, dan hal melahirkan amal.”[1]
Kita akan membicarakan setiap rukun syukur ini secara terperinci.

  1. Ilmu
Ilmu yang dimaksudkan disini adalah menyedari nikmat yang dimiliki sambil mengetahui pihak yang telah memberikan nikmat itu. Kesedaran itu dapat diperoleh dengan cara memperhatikan keseluruhan nikmat yang telah Allah berikan kepada kita seperti nikmat penglihatan, nikmat pendengaran, nikmat sihat, nikmat harta dan nikmat-nikmat lainnya. Semakin kita memikirkan nikmat-nikmat yang terdapat dalam diri, kita semakin mendapati banyak sekali anugerah yang telah Allah berikan kepada kita. “Jika kamu hendak menghitung semua nikmat Allah, kamu tidak akan mampu menghitung semuanya.” 
Kebanyakan manusia tidak mampu menyedari nikmat Allah Swt sebelum nikmat itu hilang dari dirinya. Nikmat sihat misalnya jarang sekali disedari sebelum seseorang jatuh sakit. Padahal sebuah nikmat yang telah hilang dari seseorang jarang sekali dapat diperoleh kembali. Oleh karena itu, para ulama menganjurkan agar seseorang membayangkan kehilangan nikmat yang ia miliki supaya ia menyedari nikmat itu dan mensyukurinya sebelum nikmat itu benar-benar hilang dari dirinya dan tidak pernah kembali.
Seorang fakir miskin pernah mengeluhkan kesulitan hidupnya kepada seorang ulama sambil menunjukkan kesedihan hatinya. Ulama itu bertanya, “Berapakah wang yang engkau perlukan?” Ia menjawab, “Sepuluh ribu.” “Mahukah kamu memiliki wang sepuluh ribu namun matamu hilang?”  tanya ulama itu. Si fakir menjawab, “Tidak mahu.” Ulama itu berkata lagi, “Mahukah kamu memiliki wang sepuluh ribu namun lidahmu bisu?” ia menjawab, “Tidak mahu.” “Mahukah kamu memiliki wang sepuluh ribu namun kaki dan tanganmu terputus?” Sekali lagi orang itu menjawab, “Saya tidak mahu.” Ulama yang bijak itu lalu berkata, “Nah, kamu memiliki sesuatu yang lebih berharga dari wang tiga puluh ribu, tapi mengapa kamu masih bersedih?”
Untuk melahirkan kesedaran nikmat dan membiasakan hidup penuh kesyukuran, Nabi Saw menganjurkan kita agar melihat kepada orang yang kurang beruntung dari kita. Beliau bersabda:

انظروا إلى من هو أسفل منكم ولا تنظروا إلى من هو هو فوقكم فهو أجدر أن لا تزدروا نعمة الله

“Lihatlah kepada orang yang lebih rendah dari kamu, dan janganlah melihat kepada orang yang lebih tinggi dari kamu, sebab itu lebih baik agar kamu tidak meremehkan nikmat Allah.”[2]
Atas dasar hadith ini, para ulama akhlak menganjurkan agar seseorang mengunjungi rumah sakit (hospital), rumah tahanan, dan tanah perkuburan. Sebab di rumah sakit kita akan belajar mensyukuri nikmat sehat ketika melihat pesakit-pesakit yang menghidap penyakit yang bermacam-macam. Di rumah tahanan kita akan belajar mensyukuri nikmat kebebasan dan nama baik. Dan di tanah perkuburan kita akan mensyukuri nikmat kehidupan dan kesempatan untuk menambah pahala.[3] 

  1. Hal
Setelah seseorang menyedari nikmat-nikmat yang terdapat di dalam dirinya, secara tersendirinya ia akan merasakan di dalam hatinya perasaan beruntung, gembira dan suka cita. Perasaan inilah yang disebut dengan hal.

  1. Amal
Kesedaran nikmat -yang kita namakan dengan “ilmu”- dan perasaan beruntung -yang kita sebut “hal”- ini akan mendorong seseorang melahirkan perbuatan yang kita namakan dengan “amal”. Perbuatan syukur itu terbahagi kepada tiga bahagian: ( i )bersyukur dengan hati, (ii) bersyukur dengan lidah dan (iii) bersyukur dengan anggota badan. Bersyukur dengan hati dengan cara menerbitkan niat untuk berbuat baik. Bersyukur dengan lidah dengan mengucapkan pujian kepada Allah seperti “Alhamdulillah”. Dan bersyukur dengan anggota badan ialah dengan cara menggunakan nikmat yang telah Allah berikan untuk beribadah sesuai dengan fungsinya.
Mensyukuri nikmat mata misalnya adalah dengan cara menyedari pemberian Allah yang sangat berharga ini di dalam hatinya. Lalu mengucapkan “alhamdulillah”. Selanjutnya menggunakan mata untuk sesuatu yang seiring dengan perintah Allah seperti membaca Al-Qur’an, belajar, mengkaji makhluk ciptaan Allah dan sebagainya. Jika ia menggunakan mata ini untuk melakukan maksiat, maka ia dinilai tidak mensyukuri nikmat Allah.

Akhlak syukur Rasululah Saw
Rasulullah Saw adalah makhluk Allah yang paling banyak menerima nikmat dari Tuhannya. Baginda manusia yang paling sempurna fizikalnya, juga akhlaknya, ditambah lagi dengan nikmat kenabian, bahkan beliau juga adalah nabi terakhir yang menutup semua nabi. Allah Saw pernah mengingatkan:

وأنزل الله عليك الكتاب والحكمة وعلمك ما لم تكن تعلم وكان فضل الله عليك عظيماً

“Dan Allah telah menurunkan Al-Kitab dan hikmat kepadamu, juga mengajarkanmu sesuatu yang tidak pernah engkau ketahui. Sesungguhnya nikmat Allah kepadamu sungguh besar.” (Al-Nisa: 113).
Rasululah Saw menyedari nikmat-nikmat yang Allah berikan kepadanya sehingga beliau berusaha mensyukurinya dengan sekuat tenaga. Siti Aisyah, isteri Nabi Saw, bercerita bahawa Rasulullah Saw selalu melakukan solat di tengah malam ketika semua orang tertidur. Beliau berdiri berjam-jam hingga bengkak-bengkak kakinya. Aisyah lalu bertanya, “Wahai Rasulullah, mengapa anda melakukan hal ini padahal Allah telah mengampuni dosamu yang terdahulu dan yang akan datang?” Rasulullah Saw menjawab, “Tidakkah aku harus menjadi hamba-Nya yang bersyukur?”[4]
Mudah-mudahan apa yang kita perbincangkan di atas dapat memberikan manfaat untuk diri kita, anak-anak kita, ahli keluarga dan seterusnya kepada seluruh umat Islam. Diharapkan juga agar para pelajar ITAP sentiasa menghiasi diri dengan akhlak yang mulia ini. Amin Ya Rabbal'alamin.


[1] “Ihya Ulum al-Din” 4/79.
[2]  Hadits shahih riwayat Al-Bukhari, Muslim dan Al-Tirmidzi.
[3]  “Ihya Ulum Al-Din” 4/123.
[4] Hadits shahih riwayat Al-Bukhari.