Tuesday, June 14, 2011

SIFAT SYUKUR

Syukur merupakan salah satu akhlak Islami yang terpenting. Oleh karena itu, banyak sekali ayat-ayat dan hadith-hadith yang menganjurkan agar setiap muslim menghiasi dirinya dengan akhlak ini. Allah Swt berfirman:

فاذكروني أذكركم واشكروا لي ولا تكفرون

“Maka ingatlah Aku, Aku akan mengingatimu. Dan bersyukurlah kepadaku jangan kamu menjadi kafir.” (Qs. Al-Baqarah: 152).
Allah juga menjanjikan akan menambah nikmat yang telah diberikan kepada seseorang hamba jika ia mensyukuri nikmat yang telah diterimanya. Dan sebaliknya, Allah mengancam akan menyiksa dengan azab yang sangat pedih jika hamba itu tidak mensyukuri nikmat tersebut. Allah berfirman:

وإذ تأذن ربكم لئن شكرتم لأزيدنكم ولئن كفرتم إن عذابي لشديد

“Dan ingatlah ketika tuhanmu berkata: kamu bersyukur Aku akan menambahkan lagi (nikmat-Ku), namun jika kamu memungkirinya (kafir), sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.” (Qs. Ibrahim: 7).

Hakikat Syukur
Secara bahasa, syukur bermakna “terima kasih”. Dan kita boleh mendefinisikan syukur secara istilah dengan “mengakui nikmat yang telah diberikan kepada kita lalu menggunakan nikmat itu sesuai dengan fungsinya”. Imam Al-Ghazali menjelaskan bahwa hakikat syukur terdiri dari tiga bahagian: ilmu, hal (perasaan hati) dan amal perbuatan. Ia berkata, “Ilmu adalah tunjangnya. Ia lalu melahirkan hal, dan hal melahirkan amal.”[1]
Kita akan membicarakan setiap rukun syukur ini secara terperinci.

  1. Ilmu
Ilmu yang dimaksudkan disini adalah menyedari nikmat yang dimiliki sambil mengetahui pihak yang telah memberikan nikmat itu. Kesedaran itu dapat diperoleh dengan cara memperhatikan keseluruhan nikmat yang telah Allah berikan kepada kita seperti nikmat penglihatan, nikmat pendengaran, nikmat sihat, nikmat harta dan nikmat-nikmat lainnya. Semakin kita memikirkan nikmat-nikmat yang terdapat dalam diri, kita semakin mendapati banyak sekali anugerah yang telah Allah berikan kepada kita. “Jika kamu hendak menghitung semua nikmat Allah, kamu tidak akan mampu menghitung semuanya.” 
Kebanyakan manusia tidak mampu menyedari nikmat Allah Swt sebelum nikmat itu hilang dari dirinya. Nikmat sihat misalnya jarang sekali disedari sebelum seseorang jatuh sakit. Padahal sebuah nikmat yang telah hilang dari seseorang jarang sekali dapat diperoleh kembali. Oleh karena itu, para ulama menganjurkan agar seseorang membayangkan kehilangan nikmat yang ia miliki supaya ia menyedari nikmat itu dan mensyukurinya sebelum nikmat itu benar-benar hilang dari dirinya dan tidak pernah kembali.
Seorang fakir miskin pernah mengeluhkan kesulitan hidupnya kepada seorang ulama sambil menunjukkan kesedihan hatinya. Ulama itu bertanya, “Berapakah wang yang engkau perlukan?” Ia menjawab, “Sepuluh ribu.” “Mahukah kamu memiliki wang sepuluh ribu namun matamu hilang?”  tanya ulama itu. Si fakir menjawab, “Tidak mahu.” Ulama itu berkata lagi, “Mahukah kamu memiliki wang sepuluh ribu namun lidahmu bisu?” ia menjawab, “Tidak mahu.” “Mahukah kamu memiliki wang sepuluh ribu namun kaki dan tanganmu terputus?” Sekali lagi orang itu menjawab, “Saya tidak mahu.” Ulama yang bijak itu lalu berkata, “Nah, kamu memiliki sesuatu yang lebih berharga dari wang tiga puluh ribu, tapi mengapa kamu masih bersedih?”
Untuk melahirkan kesedaran nikmat dan membiasakan hidup penuh kesyukuran, Nabi Saw menganjurkan kita agar melihat kepada orang yang kurang beruntung dari kita. Beliau bersabda:

انظروا إلى من هو أسفل منكم ولا تنظروا إلى من هو هو فوقكم فهو أجدر أن لا تزدروا نعمة الله

“Lihatlah kepada orang yang lebih rendah dari kamu, dan janganlah melihat kepada orang yang lebih tinggi dari kamu, sebab itu lebih baik agar kamu tidak meremehkan nikmat Allah.”[2]
Atas dasar hadith ini, para ulama akhlak menganjurkan agar seseorang mengunjungi rumah sakit (hospital), rumah tahanan, dan tanah perkuburan. Sebab di rumah sakit kita akan belajar mensyukuri nikmat sehat ketika melihat pesakit-pesakit yang menghidap penyakit yang bermacam-macam. Di rumah tahanan kita akan belajar mensyukuri nikmat kebebasan dan nama baik. Dan di tanah perkuburan kita akan mensyukuri nikmat kehidupan dan kesempatan untuk menambah pahala.[3] 

  1. Hal
Setelah seseorang menyedari nikmat-nikmat yang terdapat di dalam dirinya, secara tersendirinya ia akan merasakan di dalam hatinya perasaan beruntung, gembira dan suka cita. Perasaan inilah yang disebut dengan hal.

  1. Amal
Kesedaran nikmat -yang kita namakan dengan “ilmu”- dan perasaan beruntung -yang kita sebut “hal”- ini akan mendorong seseorang melahirkan perbuatan yang kita namakan dengan “amal”. Perbuatan syukur itu terbahagi kepada tiga bahagian: ( i )bersyukur dengan hati, (ii) bersyukur dengan lidah dan (iii) bersyukur dengan anggota badan. Bersyukur dengan hati dengan cara menerbitkan niat untuk berbuat baik. Bersyukur dengan lidah dengan mengucapkan pujian kepada Allah seperti “Alhamdulillah”. Dan bersyukur dengan anggota badan ialah dengan cara menggunakan nikmat yang telah Allah berikan untuk beribadah sesuai dengan fungsinya.
Mensyukuri nikmat mata misalnya adalah dengan cara menyedari pemberian Allah yang sangat berharga ini di dalam hatinya. Lalu mengucapkan “alhamdulillah”. Selanjutnya menggunakan mata untuk sesuatu yang seiring dengan perintah Allah seperti membaca Al-Qur’an, belajar, mengkaji makhluk ciptaan Allah dan sebagainya. Jika ia menggunakan mata ini untuk melakukan maksiat, maka ia dinilai tidak mensyukuri nikmat Allah.

Akhlak syukur Rasululah Saw
Rasulullah Saw adalah makhluk Allah yang paling banyak menerima nikmat dari Tuhannya. Baginda manusia yang paling sempurna fizikalnya, juga akhlaknya, ditambah lagi dengan nikmat kenabian, bahkan beliau juga adalah nabi terakhir yang menutup semua nabi. Allah Saw pernah mengingatkan:

وأنزل الله عليك الكتاب والحكمة وعلمك ما لم تكن تعلم وكان فضل الله عليك عظيماً

“Dan Allah telah menurunkan Al-Kitab dan hikmat kepadamu, juga mengajarkanmu sesuatu yang tidak pernah engkau ketahui. Sesungguhnya nikmat Allah kepadamu sungguh besar.” (Al-Nisa: 113).
Rasululah Saw menyedari nikmat-nikmat yang Allah berikan kepadanya sehingga beliau berusaha mensyukurinya dengan sekuat tenaga. Siti Aisyah, isteri Nabi Saw, bercerita bahawa Rasulullah Saw selalu melakukan solat di tengah malam ketika semua orang tertidur. Beliau berdiri berjam-jam hingga bengkak-bengkak kakinya. Aisyah lalu bertanya, “Wahai Rasulullah, mengapa anda melakukan hal ini padahal Allah telah mengampuni dosamu yang terdahulu dan yang akan datang?” Rasulullah Saw menjawab, “Tidakkah aku harus menjadi hamba-Nya yang bersyukur?”[4]
Mudah-mudahan apa yang kita perbincangkan di atas dapat memberikan manfaat untuk diri kita, anak-anak kita, ahli keluarga dan seterusnya kepada seluruh umat Islam. Diharapkan juga agar para pelajar ITAP sentiasa menghiasi diri dengan akhlak yang mulia ini. Amin Ya Rabbal'alamin.


[1] “Ihya Ulum al-Din” 4/79.
[2]  Hadits shahih riwayat Al-Bukhari, Muslim dan Al-Tirmidzi.
[3]  “Ihya Ulum Al-Din” 4/123.
[4] Hadits shahih riwayat Al-Bukhari.


SIFAT TERBUKA


Selain para nabi dan rasul, tidak ada manusia yang sempurna. Semua manusia cenderung kepada perbuatan dan sifat baik, juga kepada perbuatan dan sifat buruk. Namun sering kali manusia tidak mampu melihat keburukannya sendiri sehingga diberitahu oleh orang lain. Oleh karena itu, Allah Swt menjadikan fitrah semulajadi manusia selalu terbuka untuk informasi dan idea baru agar dapat menyempurnakan dirinya. Jadi sikap terbuka dan tunduk kepada kebenaran (al-ruju’ ila al-haq) merupakan akhlak mulia yang hanya dimiliki oleh orang-orang yang masih terjaga fitrahnya dan bersih dari sifat-sifat buruk seperti sombong, ego dan ujub. Mereka segera menghampiri kebenaran setiap kali berjumpa dengannya (tak peduli  dari mana ia berasal) lalu meninggalkan kepercayaan, tradisi dan pendapat kelirunya demi kebenaran itu. Sikap ini dapat kita lihat dengan jelas pada diri Abu Bakar Al-Shiddiq dan sahabat-sahabat Nabi Saw lainnya. Segera setelah meyakini kebenaran dakwah yang dibawa Rasulullah Saw, mereka menyatakan keislaman dan meninggalkan berhala yang menjadi sembahan kaum mereka selama bergenerasi.           Sikap terbuka (open minded) terhadap kebenaran merupakan perhiasan yang mempercantik setiap jiwa yang memilikinya. Allah Swt menjamin orang-orang yang memiliki keluasan jiwa untuk mendengar dan menerima nasihat akan terselamat dari kerugian di dunia ini. Allah berfirman, “Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasihat menasihati supaya mentaati kebenaran dan nasihat menasihati supaya menetapi kesabaran.[1]

Sementara sikap tertutup dan sempit fikiran (narrow minded) adalah sifat buruk yang mengundang kebencian bagi sesiapa yang memilikinya tak peduli setinggi apa darjatnya. Sikap ini merupakan sifat yang paling jelas dimiliki orang-orang kafir sehingga Allah berfirman, “Dan jika dikatakan kepada mereka: ikutilah (wahyu kebenaran) yang telah Allah turunkan, mereka (menolak dan) berkata: kami hanya mengikuti apa yang dilakukan oleh bapa-bapa kami. Katakanlah: apakah meskipun bapa-bapa kalian orang yang tak berakal dan tidak mendapat petunjuk?” Juga sifat ini dimiliki oleh orang-orang munafik sebagaimana firman Allah, “Dan apabila dikatakan kepadanya: "Bertakwalah kepada Allah", bangkitlah kesombongannya yang menyebabkannya berbuat dosa. Maka cukuplah (balasannya) neraka jahannam. dan sungguh neraka Jahannam itu tempat tinggal yang seburuk-buruknya.[2]

Akhlak Rasulullah Saw dan Para Sahabat

Meskipun Rasulullah Saw adalah manusia yang sempurna fizikal, jiwa dan akal fikirannya, beliau tidak tampil sebagai pemimpin yang memaksakan kehendak dan pendapatnya. Sebaliknya beliau sangat terbuka untuk setiap saranan dan nasihat dari semua orang, oleh karena itu beliau selalu bermusyawarah dengan para sahabatnya sebelum memutuskan sesuatu perkara. Abu Hurairah berkata, “Aku belum pernah melihat seseorang yang sangat sering bermusyawarah dengan para sahabatnya seperti Rasulullah Saw.”[3]
Rasulullah Saw mendengarkan setiap saranan dan usulan yang diajukan, dan saranan yang terbaik pasti dilaksanakan. Saat sebelum terjadi pertempuran di Badar, Rasulullah Saw bersama pasukan Islam telah tiba di tempat itu sebelum kaum kafir. Beliau lalu memerintahkan pasukannya untuk mengambil posisi tertentu yang berjauhan dengan tempat persediaan air (perigi). Khabbab bin Al-Munzir lalu bertanya, “Wahai Rasulullah, pemilihan tempat ini wahyu dari Allah ataukah taktik perang anda?” Beliau menjawab, “Ini taktik perang saya.” Khabbab lalu memberikan saranannya, “Wahai Rasulullah, posisi ini tidak bagus. Perintahkanlah pasukan untuk mengambil posisi dekat dengan air, lalu kita keringkan tempat-tempat air yang lain. Sehingga kita boleh berperang tanpa kehausan sementara musuh kita tak memiliki air minum.” Rasulullah menerima saranan ini sehingga menjadi salah satu sebab kemenangan kaum muslimin di perang Badar.

Sikap ini berulang kembali pada perang Ahzab (Khandaq), ketika 10,000 pasukan musyrikin mengepung kota Madinah. Salman Al-Farisi mengusulkan kepada Rasulullah Saw untuk menggali parit (khandaq) sekeliling kota agar pasukan musuh terhalang dari memasuki Madinah. Rasulullah Saw mendengarkan usulan tersebut dan melaksanakannya sehingga pasukan musuh benar-benar tak mampu melewati parit itu dan kembali dengan tangan kosong.

Sikap terbuka terhadap usulan dan kritikan ini kemudian diwarisi oleh semua sahabat Nabi Saw. Mereka semua menyedari kekurangan dirinya dan berkeinginan kuat untuk memperbaikinya, sehingga mereka sangat berterima kasih jika seseorang menunjukkan kekurangan dirinya agar ia boleh diperbaiki. Umar bin Al-Khathab r.a. berkata, “Orang yang paling saya cintai adalah seseorang yang menunjukkan kesalahan-kesalahan saya.”[4]  Khalifah dan sahabat Nabi Saw yang mulia ini juga memiliki jiwa yang sangat luas sehingga mampu menerima koreksi dan kritikan di depan umum dan tidak segan-segan mengakui kekeliruannya. Pada suatu hari,Umar r.a. berniat melarang mempermahal mas kahwin bagi  meringankan biaya pernikahan dan memudahkan proses perkahwinan. Ia lalu menyampaikan niat itu di mimbar khutbah Jumaat dan mengemukakan berbagai alasan yang mendukung  pendapatnya. Tiba-tiba, seorang wanita berdiri dan memotong khutbahnya dengan berkata, “Kamu tidak berhak melakukan hal itu, wahai Umar. Sebab Allah Swt berfirman, “Dan jika kamu ingin mengganti isterimu dengan isteri yang lain sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, maka janganlah kamu mengambil kembali dari padanya barang sedikitpun.”[5] Mendengar ucapan itu, Umar segera berkata, “Wanita ini benar, Umar keliru.”

Bagaimana menerima kritikan dan nasihat

Menerima nasihat dan kritikan bukanlah sesuatu yang mudah. Seringkali ego kita tersinggung sehingga lahirlah reaksi negatif yang berhujungkan permusuhan dan perpecahan. Untuk itu, ada beberapa cara yang dapat kita terapkan dalam menerima nasihat atau kritikan agar dapat menjadi saranan pembangunan kemuliaan.[6]

Pertama: Menyedari kekurangan diri dan selalu bersedia untuk memperbaikinya. Ketika mendengar nasihat atau kritikan, kita harus meletakkan diri seperti orang yang sedang melihat cermin agar penampilannya selalu kemas dan rapi. Walaupun wajah yang ada dalam cermin adalah wajah yang itu-itu juga, namun kita tidak pernah keberatan untuk merapikan rambut, manakala cermin memperlihatkan gambar rambut yang sedia ada rupanya. Kita pun tidak pernah marah kepada cermin bila di cermin kita melihatkan di mata kita jika ada kotoran. Reaksi kita adalah membuang kotoran itu dan bukan memecahkan cermin, benarkan??

Ketahuilah, orang-orang di sekitar kita adalah cermin yang memberitahukan apa kekurangan kita. Sehingga sepatutnyalah kita bergembira ketika ada yang memperlihatkan kekurangan kita, kerana dengan demikian kita menjadi tahu dan dapat segera memperbaiki diri.

Kedua: Cari dan tanya. Belajarlah bertanya kepada orang tentang kekurangan-kekurangan kita dan belajar pula untuk mendengar dan menerima kritikan. Milikilah teman yang jujur mahu membetuli, tanya pula kepada isteri, suami, anak-anak dan lain-lain.

Orang-orang besar adalah orang-orang yang tidak merasa besar. Umar bin Al-Khathab r.a. sering kali bertanya kepada orang lain tentang keburukan dirinya. Ia bertanya kepada Huzaifah bin Al-Yaman, “Kamu adalah orang yang paling mengatahui sifat-sifat munafik. Adakah sifat-sifat itu di diri saya?” Ketika mengetahui bahwa Rasulullah Saw bersabda kepada Ummu Salamah tentang sebahagian sahabatnya yang akan berpisah dengan beliau di akhirat, Umar segera mendatangi Ummu Salamah dan bertanya, “Adakah saya orang yang dimaksudkan oleh Nabi Saw?” Ummu Salamah menjawab, “Kamu bukan orang itu.”[7] Umar juga bertanya tentang keburukan dirinya kepada Salman, Ibn ‘Abbas dan sahabat-sahabat Nabi Saw lainnya.

Ketiga: Syukur. Ada orang yang peduli dengan memberikan kritikan kepada kita merupakan kurniaan yang patut disyukuri. Jangan lupa mengucapkan terima kasih. Bila kita berubah menjadi lebih baik melalui nasihat seseorang, jangan lupakan ia dalam doa kita dan sebutlah namanya ketika kita menyampaikan nasihat yang sama kepada orang lain. Nikmati kritikan itu sebagai kurniaan dari Allah, kerana seseorang tidak akan mati karena dikritik.

Bilal bin Sa’ad berkata, “Seorang saudara yang setiap kali berjumpa memberitahukan keburukanmu lebih baik daripada seorang saudara yang setiap kali berjumpa memberimu wang.”[8] Al-Ghazali berkata, “Akhlak tercela adalah ular dan kalajengking beracun. Andaikata seseorang memberitahu adanya kalajengking di dalam baju kita, kita akan sangat berterima kasih kepadanya, dan sibuk menyingkirkan dan membunuh kalajengking itu.”[9]

Keempat: Ubat memang pahit, namun sabar sesaat merasakan kepahitan itu akan membuahkan kesembuhan bertahun-tahun. Persiapkan diri menghadapi kenyataan bahawa kritikan dan nasihat kadang-kadang menyakitkan hati karena kata-katanya yang kasar atau caranya yang tidak sopan. Namun semua ini tidak akan merugikan kita sedikitpun selama kita tahu bagaimana menyikapinya dengan benar. Dengari kritikan dan nasihat itu dengan baik dan jangan memotong apatah lagi membantah.

Kelima: Perbaiki diri. Lihatlah apakah benar ada kekurangan pada diri kita. Jawaban terbaik ketika dikoreksi bukanlah membela diri tetapi memperbaiki diri. Sibukkan diri dengan mendengar kritikan dan iringi dengan memperbaiki diri. Memang orang yang lemah, orang yang sombong, orang-orang yang penuh kebencian, tidak pernah tahan terhadap kritikan. Jika ada yang mengkoreksi maka dirinya sibuk untuk membela diri, sibuk untuk berpikir dan sibuk untuk membalas, ketahuilah bahwa orang yang demikian itu tidak akan boleh maju. Lalu bagaimana jika kita dihina terus? Jangan risau! Kerana semua orang yang berjaya dan mulia itu pasti ada yang menghina. Tidak akan pernah didengki kecuali orang yang berprestasi.

Keenam: Balas budi. Sebagai orang yang tahu berterima kasih dan menghargai sebuah pemberian, sudah selayaknya kita membalas pemberian kritikan itu sebagai pemberian hadiah pula. Kalau tidak mampu memberikan sesuatu yang berharga, paling tidak sebuah ucapan terima kasih yang tulus dan doa yang ikhlas.

Adab Memberi Nasihat

Selain harus mahir menerima nasihat, kita juga harus tahu adab kesopanan dalam memberi nasihat. Sebab nasihat yang baik jika tidak didukung cara yang baik seringkali menghasilkan buah yang tidak baik. Adab memberi nasihat itu adalah:

Pertama: Niat yang baik. Kalau sebuah nasihat atau teguran didasari niat ingin menjatuhkan, ucapan itu hanya akan menjadi pisau atau panah beracun di hati pendengarnya. Sebuah nasihat, sesuai makna asalnya, seharusnya wujud dari kasih sayang dan ketulusan hati yang menghendaki kebaikan untuk orang yang dinasihati. Ibarat seseorang yang melihat saudaranya hampir jatuh ke lubang, ia mengambil tangannya agar tidak terpeleset jatuh. Rasulullah Sawbersabda, “Agama ini adalah nasihat.” Para sahabat bertanya, “(Nasihat) untuk siapa?” Beliau menjawab, “Untuk Allah, kitab-Nya, Rasul-Nya, pemimpin orang-orang beriman dan masyarakat awam.”[10]

Jarir bin Abdillah berkata, “Aku berbaiat (berjanji) kepada Rasulullah Saw untuk selalu mendirikan solat, membayar zakat dan menasihati setiap muslim.”[11] Suatu hari seseorang menjual kudanya kepada Jarir. Ia bertanya, “Berapa harganya?” Orang itu menjawab, “Lima dirham.” Jarir berkata, “Harga kuda ini lebih mahal dari itu.” Jarir terus menambahkan harga kuda itu lalu memberikan wangnya kepada orang tersebut. Ketika ditanya mengapa ia melakukan hal tersebut, Jarir menjawab, “Saya berjanji kepada Rasulullah Saw untuk selalu menasihati kaum muslimin.”

Kedua: Cara yang baik. Kalau niat sudah baik caranya juga harus benar. Nasihat yang disampaikan harus dihiasi dengan kata-kata terpilih yang tidak melukai diiringi dengan sikap yang tidak sepatutnya, tidak mempermalukanna, tidak memperlekehkannya, sehingga orang berubah bukan karena ditekan oleh kata-kata kita melainkan tersentuh oleh kata-kata kita. Allah berfirman, “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.”[12]

Para ulama berkata bahwa seorang da’i disyaratkan menguasai teknik-tehnik dakwah sebelum berdakwah agar dapat mengajak orang lain ke jalan Allah dengan mudah. Teknik itu bermacam-macam, misalnya dengan memberi hadiah, mengajak makan bersama, atau cara-cara lain yang dapat melembutkan hati orang yang hendak didakwahkan itu.[13] Ini semua adalah hikmah yang Allah perintahkan.

Termasuk hikmah adalah tidak menyampaikan nasihat di hadapan orang banyak sehingga mempermalukan orang yang dinasihati. Imam Al-Syafii berkata, “Barang siapa yang mengoreksimu dengan sembunyi-sembunyi, maka ia benar-benar menasihatimu. Dan barangsiapa yang mengoreksimu di depan umum, maka ia sedang menghinamu.”[14]

Ketiga: Suri tauladan yang baik. Sebaik-baik nasihat adalah dengan suri tauladan, hancurnya orang-orang yang sibuk memberi nasihat adalah ketika apa yang dia katakan tidak sesuai dengan apa yang dia lakukan.

Keempat: Jangan marah ketika nasihat itu tidak didengar atau tidak dilaksanakan. Barangsiapa yang menasIhati ikhlas karena Allah tidak akan marah jika kata-katanya tidak didengari. Sebaliknya ia akan memeriksa dirinya yang penuh dosa dan mengakui (jika benar) bahawa ucapannya memang tak sesuai  untuk didengari.

Seseorang bertanya kepada Syeikh Abdul Halim, “Seorang tetanggaku melakukan sesuatu yang haram, bolehkah aku menasihatinya?” Ia menjawab, “Bolehkah najis membersihkan najis?”

Fudhail bin Iyadh berkata, “Jika aku telah melanggar salah satu perintah Allah, aku boleh ketahui itu dari perilaku keldaiku, pembantuku dan isteriku. Maka keldaiku sulit/sukar dikendalikan, isteri dan pembantuku tidak lagi mentaati perintahku. Setelah aku memeriksa diri lalu bertaubat kepada Allah dan Allah menerima taubatku, mereka semua kembali mentaatiku.”

Syeikh Abu Naja Salim Marw selalu berkata kepada muridnya, “Ketahuilah, alam semesta memperlakukan kita sesuai amal ibadah yang kita lakukan. Maka perhatikanlah dirimu. Sebab lurus atau bengkok sebuah bayangan tergantung bendanya.”[15]

Mudah-mudahan apa yang kita perbincangkan di atas dapat memberikan manfaat untuk diri kita, anak-anak kita, ahli keluarga dan seterusnya kepada seluruh umat Islam. Diharapkan juga agar para pelajar ITAP sentiasa menghiasi diri dengan akhlak yang mulia ini. Amin Ya Rabbal'alamin.



[1] Qs. Al-Ashr: 1-3.
[2] Qs. Al-Baqarah: 206.
[3] Hadits riwayat Al-Syafii.
[4] “Uyun al-Akhbar” Ibn Qutaibah 2/13. Juga di “Ihya Ulum al-Din” 3/62.
[5] Qs. Al-Nisa: 20.
[6]  Tulisan ini berhutang kepada tulisan KH. Abdullah Gymnastiar (Aa Gym).
[7] Hadits riwayat Al-Thabarani.
[8] “Uyun Al-Akhbar” 2/13.
[9] “Ihya Ulum al-Din” 3/63.
[10] Riwayat Muslim.
[11] Riwayat Al-Bukhari dan Muslim.
[12] Qs. Al-Nahl: 125.
[13] Lihat “Lathaif al-Minan Wa Al-Akhlaq” hal.241.
[14] “Akhlaquna al-Ijtima’iyyah” hal. 48.
[15] “Lathaif Al-Minan” hal. 331-332.