Tuesday, March 1, 2011

Bersikap Terbuka

Selain para nabi dan rasul, tidak ada manusia yang sempurna. Semua manusia cenderung kepada perbuatan dan sifat baik, juga kepada perbuatan dan sifat buruk. Namun sering kali manusia tidak mampu melihat keburukannya sendiri sehingga diberitahu oleh orang lain. Oleh karena itu, Allah SWT menjadikan fitrah semulajadi manusia selalu terbuka untuk informasi dan idea baru agar dapat menyempurnakan dirinya. Jadi sikap terbuka dan tunduk kepada kebenaran (al-ruju’ ila al-haq) merupakan akhlak mulia yang hanya dimiliki oleh orang-orang yang masih terjaga fitrahnya dan bersih dari sifat-sifat yang dapat menolak kebenaran seperti sombong, ego dan ujub. Mereka segera menghampiri kebenaran setiap kali berjumpa dengannya (tak peduli  dari mana ia berasal) lalu meninggalkan kepercayaan, tradisi dan pendapat kelirunya demi kebenaran itu. Sikap ini dapat kita lihat dengan jelas pada diri Abu Bakr Al-Siddiq dan sahabat-sahabat Nabi SAW lainnya. Segera setelah meyakini kebenaran dakwah yang dibawa Rasulullah SAW, mereka menyatakan keislaman dan meninggalkan berhala yang menjadi sembahan kaum mereka selama bergenerasi.

Sikap terbuka (open minded) terhadap kebenaran merupakan perhiasan yang mempercantik setiap jiwa yang memilikinya. Allah SWT menjamin orang-orang yang memiliki keluasan jiwa untuk mendengar dan menerima nasihat akan terselamat dari kerugian di dunia ini. Allah berfirman, Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal soleh dan nasihat menasihati supaya mentaati kebenaran dan nasihat menasihati supaya menetapi kesabaran.[1]

Sementara sikap tertutup dan sempit pikiran (narrow minded) adalah sifat buruk yang mengundang kebencian bagi sesiapa yang memilikinya tak peduli setinggi apa darjatnya. Sikap ini merupakan sifat yang paling jelas dimiliki oleh orang-orang kafir sehingga Allah berfirman, “Dan jika dikatakan kepada mereka: ikutilah (wahyu kebenaran) yang telah Allah turunkan, mereka (menolak dan) berkata: kami hanya mengikuti apa yang dilakukan oleh bapa-bapa kami. Katakanlah: apakah meskipun bapa-bapa kamu orang yang tak berakal dan tidak mendapat petunjuk?” Juga sifat ini dimiliki oleh orang-orang munafik sebagaimana firman Allah, Dan apabila dikatakan kepadanya: "Bertakwalah kepada Allah", bangkitlah kesombongannya yang menyebabkannya berbuat dosa. Maka cukuplah (balasannya) neraka jahannam. dan sungguh neraka Jahannam itu tempat tinggal yang seburuk-buruknya.[2]

Akhlak Rasulullah SAW dan Para Sahabat

Meskipun Rasulullah SAW adalah manusia yang sempurna fizikal, jiwa dan akal fikirannya, beliau tidak tampil sebagai pemimpin kukubesi yang memaksakan kehendak dan pendapatnya. Sebaliknya beliau sangat terbuka untuk setiap saranan dan nasihat dari semua orang, oleh karena itu beliau selalu bermusyawarah dengan para sahabatnya sebelum memutuskan suatu perkara. Abu Hurairah berkata, “Aku belum pernah melihat seseorang yang sangat sering bermusyawarah dengan para sahabatnya seperti Rasulullah SAW.”[3]
Rasulullah SAW mendengarkan setiap saranan dan usulan yang diajukan, dan saranan yang terbaik pasti dilaksanakan. Sesaat sebelum terjadi pertempuran di Badar, Rasulullah SAW bersama pasukan Islam telah tiba di tempat itu sebelum kaum kafir. Beliau lalu memerintahkan pasukannya untuk mengambil posisi tertentu yang berjauhan dengan tempat persediaan air (perigi). Khabbab bin Al-Munzir lalu bertanya, “Wahai Rasulullah, pemilihan tempat ini wahyu dari Allah ataukah taktik perang anda?” Beliau menjawab, “Ini taktik perang saya.” Khabbab lalu memberikan saranannya, “Wahai Rasulullah, posisi ini tidak bagus. Perintahkanlah pasukan untuk mengambil posisi dekat dengan air, lalu kita keringkan tempat-tempat air yang lain. Sehingga kita boleh berperang tanpa kehausan sementara musuh kita tak memiliki air minum.” Rasulullah menerima saranan ini sehingga menjadi salah satu sebab kemenangan kaum muslimin di perang Badar.

Sikap ini berulang kembali pada perang Ahzab (khandaq), ketika 10,000 pasukan musyrikin mengepung kota Madinah. Salman Al-Farisi mengusulkan kepada Rasulullah SAW untuk menggali parit (khandaq) di sekeliling kota agar pasukan musuh terhalang dari memasuki Madinah. Rasulullah SAW mendengarkan usulan tersebut dan melaksanakannya sehingga pasukan musuh benar-benar tak mampu melewati parit itu dan kembali dengan tangan kosong.

Sikap terbuka terhadap usulan dan kritik ini kemudian diwarisi oleh semua sahabat Nabi SAW. Mereka semuanya menyedari kekurangan dirinya dan berkeinginan kuat untuk memperbaikinya, sehingga mereka sangat berterima kasih jika seseorang menunjukkan kekurangan dirinya agar ia boleh perbaiki. Umar bin Al-Khattab berkata, “Orang yang paling saya cintai adalah seseorang yang menunjukkan kesalahan-kesalahan saya.”[4]  Pada suatu hari,Umar berniat melarang mempermahal mas kahwin demi meringankan biaya pernikahan dan memudahkan proses perkahwinan. Ia lalu menyampaikan niat itu di mimbar khutbah Jumaat dan mengemukakan berbagai alasan yang mendukung  pendapatnya. Tiba-tiba, seorang wanita berdiri dan memotong khutbahnya dengan berkata, “Kamu tidak berhak melakukan hal itu, wahai Umar. Sebab Allah SWT berfirman, “Dan jika kamu ingin mengganti isterimu dengan isteri yang lain sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, maka janganlah kamu mengambil kembali dari padanya barang sedikitpun.”[5] Mendengar ucapan itu, Umar segera berkata, “Wanita ini benar, Umar keliru.”

Strategi menerima kritikan dan nasihat

Menerima nasihat dan kritikan bukanlah sesuatu yang mudah. Seringkali ego kita tersinggung sehingga lahirlah reaksi negatif yang berakhir dengan permusuhan dan perpecahan. Untuk itu, di sini ada beberapa cara yang dapat kita terapkan dalam menerima nasihat atau kritikan agar dapat menjadi saranan pembangunan kemuliaan.[6]

Pertama: sedari kekurangan diri dan selalu bersedia memperbaikinya. Ketika mendengar nasihat atau kritikan, kita harus memposisikan diri seperti orang yang sedang melihat cermin agar penampilannya selalu bagus. Walaupun wajah yang ada dalam cermin adalah wajah yang sama juga, namun kita tidak pernah keberatan untuk merapikan rambut, manakala cermin memperlihatkan gambar rambut yang kusut masai. Kita pun tidak pernah marah kepada cermin bila di cermin kita melihat di mata kita ada kotoran. Reaksi kita adalah membuang kotoran itu dan bukan memecahkan cermin.

Ketahuilah, orang-orang di sekitar kita adalah cermin yang memberitahu apa kekurangan kita. Sepatutnyalah kita bergembira ketika ada yang memperlihatkan kekurangan kita, karena dengan demikian kita menjadi tahu dan dapat segera memperbaiki diri.

Kedua: cari dan tanya. Belajarlah bertanya kepada orang tentang kekurangan-kekurangan kita dan belajar pula untuk mendengar dan menerima kritikan. Milikilah teman yang mahu secara jujur memperbetulkan, tanya pula kepada isteri, suami, anak-anak dan lain-lain.

Orang-orang besar adalah orang-orang yang tidak merasa besar. Umar bin Al-Khattab sering kali bertanya kepada orang lain tentang keburukan dirinya. Ia bertanya kepada Huzaifah bin Al-Yaman, “Kamu adalah orang yang paling mengatahui sifat-sifat munafik. Adakah sifat-sifat itu di diri saya?” Ketika mengetahui bahwa Rasulullah SAW bersabda kepada Ummu Salamah tentang sebagian sahabatnya yang akan berpisah dengan beliau di akhirat, Umar segera mendatangi Ummu Salamah dan bertanya, “Adakah saya orang yang dimaksud oleh Nabi SAW?” Ummu Salamah menjawab, “Kamu bukan orang itu.”[7] Umar juga bertanya tentang keburukan dirinya kepada Salman, Ibn ‘Abbas dan sahabat-sahabat Nabi SAW lainnya.

Ketiga: syukuri. Adanya orang yang peduli dengan memberikan kritikan kepada kita merupakan kurnia yang patut disyukuri. Jangan lupa mengucapkan terima kasih. Bila kita berubah menjadi lebih baik melalui nasihat seseorang, jangan lupakan ia dalam doa kita dan sebutlah namanya ketika kita menyampaikan nasihat yang sama kepada orang lain. Nikmati kritikan itu sebagai kurnia Allah, karena seseorang tidak akan mati karena dikritik.

Bilal bin Sa’ad berkata, “Seorang saudara yang setiap kali berjumpa memberitahukan keburukanmu lebih baik daripada seorang saudara yang setiap kali berjumpa memberimu wang.”[8] Al-Ghazali berkata, “Akhlak tercela adalah ular dan kalajengking (scorpion) beracun. Andai seseorang memberitahu adanya kalajengking di dalam baju kita, kita akan berterima kasih kepadanya, dan sibuk menyingkirkan dan membunuh kalajengking itu.”[9]

Keempat: ubat memang pahit. Namun sabar sesaat merasakan kepahitan itu akan membuahkan kesembuhan bertahun-tahun. Persiapkan diri menghadapi kenyataan bahwa kritikan dan nasihat kadangkala menyakitkan hati karena kata-katanya yang kasar atau caranya yang tidak sopan. Namun semua ini tidak akan merugikan kita sedikitpun selama kita tahu bagaimana menerimanya dengan benar. Dengarkan kritikan dan nasihat itu dengan baik dan jangan memotong apalagi membantah.

Kelima: perbaiki diri. Lihatlah apakah benar ada kekurangan pada diri kita. Jawaban terbaik ketika diperbetul bukanlah membela diri tetapi memperbaiki diri. Sibukkan diri dengan mendengar kritikan dan iringi dengan memperbaiki diri. Memang orang yang lemah, orang yang sombong, orang-orang yang penuh kebencian, tidak pernah tahan terhadap kritikan. Jika ada yang menegur maka dirinya sibuk untuk membela diri, sibuk untuk berfikir dan sibuk untuk membalas, ketahuilah bahawa orang yang demikian itu tidak akan maju. Lalu bagaimana jika kita terus dihina? Jangan risau! Karena semua orang yang berjaya dan mulia itu pasti ada yang menghina. Tidak akan pernah didengki kecuali orang yang berprestasi.

Keenam: balas budi. Sebagai orang yang tahu terima kasih dan menghargai sebuah pemberian, sudah selayaknya kita membalas pemberian kritik itu sebagai pemberian hadiah pula. Kalau tidak mampu memberikan sesuatu yang berharga, paling tidak sebuah ucapan terima kasih yang tulus dan doa yang ikhlas.

Adab Memberi Nasihat

Selain harus mahir menerima nasihat, kita juga harus tahu adab kesopanan dalam memberi nasihat. Sebab nasihat yang baik jika tidak disampaikan dengan cara yang baik seringkali menghasilkan buah yang tidak baik. Adab memberi nasihat itu adalah:

Pertama: niat yang baik. Kalau sebuah nasihat didasari niat ingin menjatuhkan, ucapan itu hanya akan menjadi pisau atau panah beracun di hati pendengarnya. Sebuah nasihat, sesuai makna asalnya, seharusnya wujud dari kasih sayang dan ketulusan hati yang menghendaki kebaikan untuk orang yang dinasihati. Ibarat seseorang yang melihat saudaranya hampir jatuh ke lubang, ia mengambil tangannya agar tidak jatuh terperosok. Rasulullah bersabda, “Agama ini adalah nasihat.” Para sahabat bertanya, “(Nasihat) untuk siapa?” Beliau menjawab, “Untuk Allah, kitab-Nya, Rasul-Nya, pemimpin orang-orang beriman dan masyarakat awam.”[10]

Jarir bin Abdillah berkata, “Aku berbaiat (berjanji) kepada Rasulullah SAW untuk selalu mendirikan solat, membayar zakat dan menasihati setiap muslim.”[11] Suatu hari seseorang menjual kudanya kepada Jarir. Ia bertanya, “Berapa harganya?” Orang itu menjawab, “Lima dirham.” Jarir berkata, “Harga kuda ini lebih mahal dari itu.” Jarir terus menambahkan harga kuda itu lalu memberikan wangnya kepada orang tersebut. Ketika ditanya mengapa ia melakukan hal tersebut, Jarir menjawab, “Saya berjanji kepada Rasulullah SAW untuk selalu menasihati kaum muslimin.”

Kedua: cara yang baik. Kalau niat sudah baik caranya juga harus benar. Nasihat yang disampaikan harus dihiasi dengan kata-kata terpilih yang tidak melukai diiringi dengan sikap yang tidak meragui, tidak mempermalukan, tidak memaksa, sehingga orang berubah bukan kerana ditekan oleh kata-kata kita melainkan tersentuh oleh kata-kata kita. Allah berfirman, Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.”[12]

Para ulama berkata bahwa seorang da’i disyaratkan menguasai teknik-tehnik dakwah sebelum berdakwah agar dapat mengajak orang lain ke jalan Allah dengan mudah. Teknik itu bermacam-macam, misalnya dengan memberi hadiah, mengajak makan bersama, atau cara-cara lain yang dapat melembutkan hati orang yang hendak didakwahi.[13] Ini semua adalah hikmah yang Allah perintahkan.

Termasuk hikmah adalah tidak menyampaikan nasihat di hadapan orang ramai sehingga mempermalukan orang yang dinasihati. Imam Al-Syafii berkata, “Barang siapa yang menegurmu dengan sembunyi-sembunyi, maka ia benar-benar menasihatimu. Dan barangsiapa yang menegurmu di depan umum, maka ia sedang menghinamu.”[14]

Ketiga: suri tauladan yang baik. Sebaik-baik nasihat adalah dengan suri tauladan, hancurnya orang-orang yang sibuk memberi nasihat adalah ketika apa yang dia katakan tidak sesuai dengan apa yang dia lakukan.

Keempat: jangan marah ketika nasihat itu tidak didengar atau tidak dilaksanakan. Barangsiapa yang menasihati ikhlas karena Allah tidak akan marah jika kata-katanya tidak diikuti. Sebaliknya ia akan memeriksa dirinya yang penuh dosa dan mengakui bahawa ucapannya memang tak layak didengari.

Seseorang bertanya kepada Syeikh Abdul Halim, “Seorang tetanggaku melakukan sesuatu yang haram, bolehkah aku menasihatinya?” Ia menjawab, “Bolehkah najis membersihkan najis?”

Fudhail bin Iyadh berkata, “Jika aku telah melanggar salah satu perintah Allah, aku boleh ketahui itu dari prilaku keldaiku, pelayanku dan isteriku. Maka keldaiku sulit dikendalikan, isteri dan pelayanku tidak lagi mentaati perintahku. Setelah aku memeriksa diri lalu bertaubat kepada Allah dan Allah menerima taubatku, mereka semua kembali mentaatiku.”

Syeikh Abu Naja Salim Marw selalu berkata kepada muridnya, “Ketahuilah, alam semesta memperlakukan kita sesuai amal ibadah yang kita lakukan. Maka perhatikanlah dirimu. Sebab lurus atau bengkok sebuah bayangan tergantung bendanya.”[15]


[1] Qs. Al-Ashr: 1-3.
[2] Qs. Al-Baqarah: 206.
[3] Hadits riwayat Al-Syafii.
[4] “Uyun al-Akhbar” Ibn Qutaibah 2/13. Juga di “Ihya Ulum al-Din” 3/62.
[5] Qs. Al-Nisa: 20.
[6]  Tulisan ini berhutang kepada tulisan KH. Abdullah Gymnastiar (Aa Gym).
[7] Hadits riwayat Al-Thabarani.
[8] “Uyun Al-Akhbar” 2/13.
[9] “Ihya Ulum al-Din” 3/63.
[10] Riwayat Muslim.
[11] Riwayat Al-Bukhari dan Muslim.
[12] Qs. Al-Nahl: 125.
[13] Lihat “Lathaif al-Minan Wa Al-Akhlaq” hal.241.
[14] “Akhlaquna al-Ijtima’iyyah” hal. 48.
[15] “Lathaif Al-Minan” hal. 331-332.