Tuesday, July 5, 2011

BAIK HATI


Mencintai harta merupakan bahagian dari sifat manusia yang tak boleh dipisahkan dari fitrah dirinya. Agama Islam tidak melarang pengikutnya untuk memiliki sifat ini selama tidak memudharatkan diri sendiri atau orang lain. Untuk itu, Al-Quran menggariskan batas dalam membelanjakan harta yang berada pertengahan antara bakhil dan membazir:

ولا تجعل يدك مغلولة إلى عنقك ولا تبسطها كل البسط فتقعد ملوماً محسوراً

“Janganlah kamu menjadikan tanganmu terbelenggu di lehermu (bakhil) dan janganlah kamu membuka (tanganmu) seluas-luasnya sehingga kamu menjadi tercela dan menyesal.”  (Qs. Al-Isra: 29)
Allah juga memuji hamba-hamba-Nya yang memiliki sifat-sifat:

والذين إذا أنفقوا لم يسرفوا ولم يقتروا وكان بين ذلك قواماً

“Dan orang-orang yang jika membelanjakan hartanya tidak berlebihan dan tidak bakhil, akan tetapi berada di antara keduanya.” (Qs Al-Furqan: 67).
Sifat pertengahan dalam membelanjakan harta itu dikenal dengan “pemurah” atau “baik hati” (sakha). Rasulullah Saw bersabda:

إن السخي قريب من الله وقريب من الناس وقريب من الجنة

Sesungguhnya orang yang pemurah itu dekat dari Allah, dekat dari manusia dan dekat dari surga.”[1]

Darjat Pemurah
Berbuat kebaikan dan mempraktikkan kemurahan hati memiliki empat derajat:
              
-Darjat pertama: membelanjakan hartanya untuk sesuatu yang diwajibakan agama (syara’) seperti nafkah untuk keperluan-keperluan asasi dirinya dan keluarganya (anak dan isterinya).
Membelanjakan harta untuk bahagian yang pertama ini hukumnya wajib, dan barangsiapa yang enggan melakukannya sehingga memudharatkan diri dan keluarganya dinilai telah melakukan dosa yang besar. Rasulullah Saw bersabda:

كفى بالمرء إثماً أن يُضيِّع من يقوت

 “Cukuplah seseorang berdosa ketika ia mengabaikan orang-orang yang menjadi tanggungannya.”[2]
Dan wang yang dibelanjakan untuk keperluan asasi ini pahalanya di sisi Allah lebih besar daripada membelanjakannya untuk tujuan-tujuan baik lainnya. Rasulullah Saw bersabda:

دينار أنفقته في سبيل الله، ودينار أنفقته في رقبة، ودينار تصدقت به على مسكين، ودينار أنفقته على أهلك، أعظمها أجراً الذي أنفقته على أهلك

“Dinar yang engkau belanjakan di jalan Allah, Dinar yang engkau belanjakan untuk membebaskan hamba sahaya, Dinar yang engkau sedekahkan kepada orang miskin, dan Dinar yang engkau belanjakan untuk keluargamu. Yang paling banyak pahalanya adalah Dinar yang engakau belanjakan untuk keluargamu.”[3]

-Darjat kedua: membelanjakan harta untuk memenuhi tuntutan nilai-nilai maruah dan kesopanan dalam hidup bermasyarakat seperti memberi hadiah untuk kerabatnya atau jirannya. Termasuk tingkatan kedua ini, tidak terlalu teliti mengevaluasi orang lain untuk hal-hal yang remeh atau hanya memilih barang-barang murahan untuk dirinya atau orang lain.

-Darjat ketiga: membelanjakan kelebihan hartanya bukan karena tuntunan kewajiban agama atau nilai-nilai kemasyarakatan tanpa mengharapkan balasan apapun dari orang lain. Orang ini merasakan kenikmatan di dalam hatinya setiap kali memberi sesuatu kepada orang lain. Inilah yang disebut sebagai orang yang pemurah.
Rasulullah Saw berada di puncak tertinggi dari sifat pemurah ini. Anas bin Malik dan Jabir berkata, “Tidak pernah Rasulullah Saw diminta sesuatu lalu beliau menjawab: tidak.”[4] Ibn Abbas berkata, “Rasulullah Saw sangat pemurah, terutama di bulan Ramadhan setelah berjumpa dengan Jibril.”[5]
Ali bin Abi Thalib, seorang sahabat Nabi Saw, suatu hari menangis karena telah berlalu tujuh hari namun tak ada tamu yang datang untuk makan bersamanya. Siti Aisyah, isteri Nabi Saw, pernah diberikan ratusan ribu dirham oleh Sayyidina Umar bin Al-Khatab. Ia segera membagi-bagi harta itu sehingga pada siang harinya ia tidak memiliki wang untuk membeli daging untuk dimakan.
Seorang pemurah juga tidak pernah merasa berjasa atau patut menerima ucapan terima kasih setelah ia memberi. Sebaliknya, ia merasa malu karena tidak mampu memberi lebih banyak. Suatu hari seseorang membantu Imam Al-Syafii menjaga kuda yang sedang ditungganginya. Imam Al-Syafii lalu memberinya empat Dinar sambil meminta maaf kepadanya.
Seorang ulama yang lain didatangi sahabatnya yang meminjam wang darinya. Ia memberinya empat ratus Dirham lalu masuk ke kamarnya sambil menangis. Ketika ditanya mengapa ia menangis, ulama ini berkata, “Saya merasa bersalah sebab tidak memeriksa keadaan sahabat saya itu sehingga ia terpaksa datang kepadaku untuk meminta.”

-Darjat keempat disebut juga dengan “itsar” (الإيثار), yaitu memberi orang lain padahal ia sendiri sedang memerlukan sesuatu itu. Al-Ghazali berkata, “Pemurah adalah salah satu sifat Allah Swt. Dan itsar adalah derajat tertinggi sifat pemurah ini. Sifat itsar ini merupakan sifat utama Rasulullah Saw sehingga Allah menyebut sifat ini sebagai akhlak yang sangat mulia.”[6] Dalam Shahih Al-Bukhari diceritakan salah satu perbuatan itsar yang dipraktikkan Rasulullah Saw. Ketika suatu hari beliau keluar dengan memakai baju baru yang dihadiahkan kepadanya, seorang sahabat meminta baju tersebut. Beliau memberikan baju itu meskipun beliau sangat memerlukannya.[7]
Allah Swt juga memuji sahabat-sahabat Nabi Saw dari golongan Anshar yang mempraktikkan sifat mulia ini ketika mereka membantu kaum Muhajirin yang baru datang ke Madinah meskipun mereka sendiri dalam keadaan yang sangat sulit.[8] Dalam Sahih Al-Bukhari dan Muslim diceritakan kisah seorang Anshar yang pada suatu malam menjamu seorang tamu yang kelaparan dengan menghidangkan makanan satu-satunya yang ia miliki untuk anak-anaknya. Ia lalu memadamkan lampu dan berpura-pura makan bersama tamunya itu padahal ia tidak memakan apa-apa. Pada pagi harinya, Rasulullah Saw bersabda, “Allah kagum melihat apa yang kalian lakukan semalam terhadap tamu itu.”
Tiga orang sahabat Nabi Saw: Ikrimah bin Abi Jahl, Suhail bin ‘Amr dan Al-Harits bin Hisyam, ditemukan terluka parah setelah peperangan Yarmuk. Ketika Ikrimah merasa kehausan, tiba-tiba seseorang membawakan segelas air untuknya. Ketika ia mengangkat gelas itu ke mulutnya, ia melihat Suhail bin ‘Amr yang juga sedang kehausan. Ia lalu berkata, “Berikan air ini untuk Suhail.” Air itu lalu dibawa kepada Suhail. Ketika ia hendak meminumnya, ia melihat Al-Harits bin Hisyam yang juga sedang kehausan. Ia lalu berkata, “Berikan air ini untuk Al-Harits.” Ketika air itu dibawa kepada Al-Harits, ternyata sahabat Nabi ini telah meninggal dunia. Orang yang membawa air itu segera berlari ke Suhail. Ternyata ia pun sudah wafat. Ketika ia berlari ke tempat Ikrimah, ia menemukan ternyata sahabat ini pun baru saja menghembuskan nafasnya yang terakhir.[9]







[1] Hadits hasan riwayat Al-Tirmidzi.
[2] Hadits shahih riwayat Muslim dan Abu Dawud.
[3] Hadits riwayat Muslim.
[4] Hadits riwayat Al-Bukhari dan Muslim.
[5] Hadits riwayat Al-Bukhari.
[6] “Ihya Ulum Al-Din” 3/252. Lihat “Maw’izhat al-Mu’minin” hal. 254.
[7] Hadits riwayat Al-Bukhari.
[8] Lihat surah Al-Hasyr: 9.
[9] Lihat kisah ini di “Ihya Ulum Al-Din” 3/253,“Mukhtashar Minhaj Al-Qashidin” hal. 206, “Maw’izhat Al-Mu’minin” hal. 255.